Cari Blog Ini

Rabu, 17 Mei 2017

Hukum Pajak Internasional

A. Pengertian Hukum Pajak Internasional Pengertian hukum pajak ini dapat dibagi menjadi tiga bagian dari pendapat ahli hukum pajak, yaitu:
1. Menurut pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro, bahwa hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasional maupun kaedah yang berasal dari traktat antar negara dan dari prinsif atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negera-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing.
 2. Menurut pendapat Prof. Dr. P.J.A. Adriani, hukum pajak internasional adalah suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam UU Nasional mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat.
 3. Sedangkan menurut pendapat Prof. Mr. H.J. Hofstra, hukum pajak internasional sebenarnya merupakan hukum pajak nasional yang di dalamnya mengacu pengenaan terhadap orang asing. Persoalan yang terjadi dalam hukum pajak ini ialah apakah hukum pajak nasional akan diterapkan atau tidak? Hukum pajak internasional juga merupakan norma-norma yang mengatur perpajakan karena adanya unsur asing, baik mengenai objeknya maupun subjeknya. 

B. Kedaulatan Hukum Pajak Internasional Berbicara masalah Hukum Pajak Internasional, khususnya Hukum Pajak Internasional Indonesia secara umum dapat dikatakan barlaku terbatas hanya pada subjeknya dan objeknya yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak akan dikenakan pajak berdasarkan UU Indonesia. Namun demikian, Hukum Pajak Internasional dapat berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang erat dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia. UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap WP luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal ini menunjukkan bahwa contoh adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang diperoleh di Indonesia. Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara lain. Sesuai dengan asas yang dimaksud di muak, maka kedaulatan pemajakan sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negera dapat dinyatakan sebagai kedaulatan suatu negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak.

C. Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional Prof. Dr. Rochmat Soemito dalam bukunya “Hukum Pajak Indonesia, menyebutkan bahwa ada bebarapa sumber hukum pajak internasional, yaitu:
 1. Hukum Pajak Nasional atau Unilateral yang mengandung unsur asing.
 2. Trakat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjanjian antar negara baik secara bilateral maupun multilateral.
 3. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak internasional. Sedangkan dalam buku “Pengantar Ilmu Hukum Pajak” karangan R. Santoso Brotodihardjo, S.H. menyatakan bahwa sumber-sumber formal dari hukum pajak internasional, yaitu:
1. Asas-asas yang terdapat dalam hukum antar negara
2. Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang maksudnya tidak ditujukan kepada negara lain. 3. Traktat-traktat (perjanjian) dengan negera lain, seperti:
 a. Untuk meniadakan atau menghindarkan pajak berganda.
 b. Untuk mengatur pelakuan fiskal terhadap orang-orang asing.
 c. Untuk mengatur soal pemecahan laba di dalam hal suatu perusahaan atau seseorang mempunyai cabang-cabang atau sumber-sumber pendapatan di negara asing. 

D. Terjadinya Pajak Berganda Internasional Pajak berganda internasional umumnya terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum internasional yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara atau lebih. Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Beban tambahan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan memungut pajak atas objek dan subjek yang sama. Dari pengertian di atas jelas bahwa pajak berganda internasional akan timbul karena atas suatu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali sehingga menimbulkan beban yang berat bagi subjek pajak yang dikenakan pajak tersebut. Selanjutnya Prof. Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa ada beberapa sebab terjadinya pajak berganda internasional, yaitu:

1. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negera, yang dapat terjadi karena:
 a. Domisili rangkap
 b. Kewarganegaraan rangkap
c. Bentrokan atas domisili dan asas kewarganegaraan.
 2. Objek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara.
 3. Subjek pajak yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan atas wold wide incom, sedangkan di negera domisili dikenakan pajak berdasarkan asas sumber.

E. Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu dengan cara sebagai berikut:
 1. Cara Unilateral Cara ini dilakukan dengan memasukkan ketentuan untuk menghindari pajak berganda dalam UU suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas. Pengguanaan cara ini merupakan wujud kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam suatu UU.
2. Cara Bilateral atau Multilateral Cara Bilateral atau Multilateral dilakukan melalui suatu perundingan antar negara yang berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang dilakukan secara bilateral oleh dua negara, sedangkan multelateral dilakukan oleh lebih dari dua negara, yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau tax treaty. Proses terjadinya perjanjian secara bilateral maupun multilateral tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena masing-masing negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan kedaulatan negaranya sendiri. 

F. Perjanjian Dalam Pajak Berganda Internasional Perjanjian seperti ini kebanyakan masih berusia muda, dahulu hanya dikenakan persetujuan persahabatan, persetujuan untuk menetap, persetujuan dagangan dan peretujuan pelayanan yang kadang-kadang mencakup satu ketentuan yang ada hubungannya dengan beberapa macam pajak yang kebanyakan mencantumkan klausul tentang keharusan adanya perlakuan yang sama terhadap penduduk atau penguasa dari negara-negara yang mengadakan persetujuan. Prosedur dari perjanjian kolektif ternyata sukar untuk dilaksanakan karena bermacam-macam ragam, sistem dan asas perpajakan di berbagai negara, dan karena lambannya prosedur perundingan untuk tidak berbicara tentang lambannya atau resikonya pengukuhan oleh kepala negara-negara peserta perjanjian. Ketentuan-ketentuan penting yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian pajak berganda secara singkat adalah sebagai berikut:
 1. Orang-orang yang dapat menikmati keuntungan dari perjanjian-perjanjian.
 2. Pajak-pajak yang diatur dalam perjanjian.
 3. Sengketa internasional.
 4. arti tempa kediaman fiskal.

G. Kedudukan Hukum Perjanjian Perpajakan Bagaimana kedudukan hukum suatu perjanjian perpajakan yang diadakan antara Indonesia dengan negara lain? Bila ditelusuri dasar hukum bisa diadakannya perjanjian perpajakan antar negara, maka kita kembali pada konstitusi yaitu pasal 11 ayat (1) UUD 1945 beserta perubahannya. Mengacu pada dasar hukum tersebut, tentu saja akan memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh karenanya, dengan pertimbangan kepraktisan khusus dalam lalu lintas hukum internasional antara Indonesia dengan negara-negara lain yang cukup intensif, maka tidak diperlukan lagi persetujuan DPR tetapi cukup diberitahukan saja. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UUD 1945 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum perjanjian perpajakan adalah sama dengan UU Nasional seperti UU tentang PPh. Kedudukan hukum perjanjian perpajakan tidak lebih tinggi dari UU Perpajakan Nasional.

 SUMBER-SUMBER HUKUM PAJAK INTERNASIONAL YANG BERLAKU DI INDONESIA
Prof. Dr. Rochmat Soemitro dalam bukunya Hukum Pajak Internasional Indonesia menyebutkan bahwa ada beberapa sumber hukum pajak internasional, yaitu:
Hukum Pajak Nasional/Unilateral yang mengandung unsur asing.
Dalam hal ini diambil contoh dari undang-undang PPh dan undang-undang PPN.
Traktat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjanjian antar negara baik secara bilateral maupun multilateral. Perjanjian yang sifatnya multilateral yaitu, Indonesia terikat dalam Perjanjian Perpajakan dengan model Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), maupun model United Nations (UN) yang merupakan acuan dalam rangka perundingan perjanjiann penghindaran pajak berganda.
Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak internasional. Keputusan hakim maupun komisi internasional yang memberikan putusan yang menyangkut adanya unsur internasional merupakan sumber hukum yang sifatnya mengikat juga bagi hukum pajak indonesia.
Sedangkan Santoso Brotodihardjo, S.H. dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak menyatakan bahwa sumber-sumber formal dari hukum pajak internasional, yaitu:
Asas-asas yang terdapat dalam hukum antar negara (asas-asas ini dapat disimpulkan dari peraturan-peraturan dalam hkum antar negara, baik yang tertulis maupun yang tidak).
Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang maksudnya tidak ditujukan kepada negara lain, seperti ”pencegahan pengenaan pajak berganda” (yang disebut di muka).
Traktat-traktat (perjanjian) dengan negara lain seperti:
a.       Untuk meniadakan/menghindarkan pajak berganda.
b.      Untuk mengatur pelakuan fiskal terhadap orang-orang asing.
c.       Untuk mengatur soal pemecahan laba (winstsplitsing), di dalam hal suatu perusahaan/seseorang mempunyai cabang-cabang/sumber-sumber pendapatan di negara asing.
d.      Untuk saling memberi bantuan dalam pengenaan pajak lengkap dengan pemungutannya, termasuk juga usaha untuk memberantas evasion fiscale, yang dapat terjelma dalam saling memberi keterangan-keterangan tentang adanya  Tatbestand dengan segala detailnya yang diperlukan untuk penetapan pajaknya.
e.       Untuk menetapkan tarif-tarif douane.
Sumber-sumber pajak internasional tersebut terlalu luas, sehingga apabila dipersempit dengan yang hanya terkait dengan Negara Indonesia, maka sumber-sumber tersebut antara lain:
1.   Kaedah hukum pajak nasional / unilateral yang mengandung unsur asing, antara lain:
a.   Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang ”pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak”;
b.   Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);
c.   Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang : Tidak Termasuk Subjek Pajak;
d.   Peraturan perpajakan Nasional (Pasal 5 (2) UU PPh) tentang : Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang Tidak Termasuk Subjek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tengang TidakTermasuk Subjek Pajak Usaha tetap.;
e.   Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang Hubungan Istimewa, Bilamana Terdapat Ketidakwajaran dalm Perpajakan;
f.    Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang Kredit Pajak Luar Negeri;
g.   Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 26 UU PPh) tentang Pemotongan Pajak atas Su bjek Pajak Luar Negeri yan memperolrh penghasilan dsri Indonesia.
2.   Kaedah – kaedah yang berasal dari traktat :
a.   Perjanjian Bilateral;
b.   Perjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), yang sampai ditulisnya buku ini sudah ada 56 P3B;
c.   Perjanjian multilateral.
      Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
3. Keputusan Hakim Nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak internasional.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut tentang perpajakan internasional, atau Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.

Dalam pembagian hak pemajakan kepada suatu negara, tax treaty yang dikembangkan oleh OECD Model cenderung untuk memberikan hak pemungutan pajak sebanyak mungkin kepada negara domisili. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan yang ada dalam distributive rules dimaksudkan untuk membatasi hak pemajakan negara sumber.
Makna Terminologi "Shall be Taxable Only in.." dan "Maybe Taxed in"
Dalam model tax treaty yang dikembangkan oleh OECD, terminologi yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan kepada satu negara yang biasanya diberikan kepada negara di mana subjek pajak tersebut terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri (residence state) adalah "shall be taxable only in...". Dengan demikian, jika hak pemajakan tersebut hanya diberikan kepada suatu negara maka negara lainnya tidak boleh untuk mengenakan pajak. Jadi, isu pemajakan berganda atas suatu penghasilan yang diatur melalui penggunaan terminologi ini seharusnya tidak akan terjadi karena hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara domisili dan negara sumber dilarang untuk mengenakan pajak.
Di sisi lain, terminologi yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan dibagi antara negara domisili dan negara sumber adalah "may be taxed in...". Makna terminologi tersebut adalah negara sumber juga dapat mengenakan pajak. Jadi, disamping negara domisili berhak untuk mengenakan pajak, negara sumber juga dapat mengenakan pajak. Apabila masing-masing negara mengenakan pajak maka terdapat isu pemajakan berganda. Untuk menghindari adanya pemajakan berganda maka negara domisili diwajibkan untuk memberikan keringanan pajak berganda melalui mekanisme tax credit method atau income exemption method (tergantung kepada ketentuan domestik negara domisili).
Negara-negara yang tergabung dalam keanggotaan di OECD Model Convention dapat merasakan manfaat yang sangat menguntungkan khususnya dalam hal permasalahan perpajakan internasional. Hubungan resiprokal yang baik pun dapat mendorong investasi dua arah dari negara-negara yang tergabung dalam keanggotaan OECD Model Convention.
Perlu kemauan pemerintah yang kuat dan lobi-lobi secara berkala dengan negara-negara lain. Khususnya negara-negara yang telah menjadi bagian dari OECD countries dalam menjalin kerja sama di bidang perpajakan serta menghapus peraturan-peraturan perpajakan yang memberatkan investor serta mengintrospeksi Tax Treaty dengan negara-negara yang digolongkan sebagai Tax Haven.
Keuntungan yang akan diperoleh oleh Indonesia dengan masuk dalam keanggotaan OECD adalah Indonesia dapat mengembangkan kerja sama dalam hal perpajakan internasional melalui Tax Treaty dengan negara-negara lain. Ketentuan-ketentuan yang terkait dengan interest atau pun dividen dari suatu perusahaan multinasional dapat lebih jelas terlihat dan menghindarkan Indonesia dari permasalahan-permasalahan perpajakan internasional.
Adanya kepastian dalam peraturan perpajakan merupakan hal yang sangat dicari oleh para investor di seluruh dunia. Dengan jelasnya peraturan perpajakan internasional yang dibangun oleh Indonesia dengan negara lain melalui Tax Treaty yang sesuai dengan ketentuan dalam OECD memberikan peluang yang sangat luas bagi pengusaha mana pun. Terutama dari negara-negara maju untuk mengembangkan investasinya di Indonesia.
Betapa mirisnya melihat kerja sama Indonesia dengan negara lain dalam hal Tax Treaty yang hanya dilakukan dengan kurang lebih 56 negara. Bila dibandingkan dengan Luxemburg yang merupakan negara mini di Eropa dan memiliki kerja sama dengan lebih dari 100 negara di dunia. Hal ini membuat negara tersebut menjadi kaya dengan investasi dan masuknya dana asing yang berimbas pada pertumbuhan ekonomi makro negara tersebut.
Dengan makin banyaknya negara yang bekerja sama dengan Indonesia dalam Tax Treaty dan aliran investasi yang terus mengalir ke Indonesia diharapkan akan memberikan suatu domino effect terlebih dalam hal pertumbuhan Ekonomi, penekanan jumlah pengangguran di Indonesia, peningkatan pemasukan daerah khususnya dari sektor pajak daerah, dan secara umum dapat menaikkan ekonomi makro Indonesia.
Standar pajak internasional dalam model OECD mensyaratkan keterbukaan suatu negara untuk melakukan pertukaran informasi tentang pajak bila diminta oleh dunia internasional yang memiliki perjanjian dengan negara tersebut. Standar yang diusung C-20 ini bertujuan untuk menghindari praktik pemajakan berganda atas transaksi yang lintas batas negara, penghindaran pajak berganda, penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion).


DAFTAR PUSTAKA 

 Brotodihardjo Santoso, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT. Refika Aditama
http://economy.okezone.com/read/2011/05/10/20/455550/penghindaran-pajak-berganda-dikaji.
”Pajak Internasional.” <http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/pajak-internasional/ view-category.html>. Diakses 20 Mei 2011.