Cari Blog Ini

Jumat, 10 Juli 2015

Konsumen Maskapai Semakin Tak Terlindungi

 Ratusan penumpang maskapai penerbangan Lion Air mendapat pengalaman terburuk dalam liburan Imlek 2015– seolah-olah menegaskan bahwa masyarakat konsumen barang dan/atau jasa di negeri ini tak akan pernah mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Terbukti, memasuki tahun 2015 ini, ada beberapa kejadian mencolok yang merugikan konsumen yang menimbulkan kerugian moral, material, bahkan kerugian jiwa manusia yang tak sedikit nilainya.
Ingatan kita belum reda terhadap konsumen korban pesawat AirAsia QZ8501, bahkan penyelesaiannya pun belum kunjung tuntas sampai saat ini. Dalam waktu hampir bersamaan, muncul dampak negatif atas pembekuan penerbangan 61 pesawat dari beberapa maskapai penerbangan yang tak memiliki izin terbang oleh Menhub Ignasius Jonan karena kebijakannya tak diiringi dengan solusi perlindungan konsumen. Itu baru kerugian konsumen di sektor jasa penerbangan yang mencolok ke permukaan publik.
Belum terhitung kerugian konsumen di bidang produk barang seperti telah ditemukannya berupa ribuan wafer kedaluwarsa siap edar yang menjadi konsumsi anak-anak kita yang ditangkap Satreskrim Polrestabes Surabaya. Belum lagi kerugian dua pasien RS Siloam yang meninggal Kamis (12/2) gara-gara disuntik obat produk PT Kalbe Farma berisi kandungan asam Tranexamic yang merupakan bahan baku obat injeksi penghenti pendarahan dengan merek Kalnex tertukar dengan bahan baku obat injeksi anestesi merek Buvanest Spinal.
Kejadian tersebut adalah peristiwa-peristiwa kerugian konsumen yang terekspos ke publik. Masih banyak peristiwa kerugian konsumen lain yang sifatnya individual dalam keseharian hidupnya di pasar tradisional maupun di pasar modern namun tak terekspos ke publik. Karena apa peristiwa itu terus terjadi? Karena selama ini para pelaku usaha yang telah nyata-nyata terbukti melakukan pelanggaran UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (PK) tak pernah diseret ke meja hijau oleh pemerintah selaku regulator sebagaimana diamanatkan dalam pasal 46 ayat (1) huruf d.
Hak gugat pemerintah itu dinyatakan: Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Selain itu, gugatan dapat dilakukan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan, kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
Namun, dalam beberapa kenyataan sejak UUPK diundangkan, belum pernah ada perusahaan pelanggar UUPK di negeri ini yang diseret ke pengadilan sampai mempunyai kekuatan hukum tetap dengan menerima sanksi seperti ditetapkan dalam pasal 60 berupa sanksi administrasi ganti rugi paling banyak Rp 200 juta; sanksi pidana pasal 61, yakni penjara paling lama lima tahun, atau denda paling banyak Rp 2 miliar (pasal 62 ayat 1); dan sanksi pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Di dalam UUPK, ada empat kategori pelanggaran pelaku usaha. Pertama, pelanggaran terhadap kewajiban pelaku usaha. Kedua, pelanggaran terhadap larangan-larangan pelaku usaha. Ketiga, pelanggaran klausul baku. Keempat, pelanggaran tanggung jawab pelaku usaha.
Misalnya, ada pelanggaran pelaku usaha terhadap larangan pasal 16 UUPK, bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk: a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. Dengan demikian, Lion Air yang penerbangannya delayed sehingga merugikan konsumen dapat dikualifikasikan melanggar larangan pelaku usaha dalam pasal 16 UUPK karena tak memberikan manfaat prestasinya.
Karena Lion Air patut diduga melanggar pasal 16 UUPK, ada konsekuensi sanksi pidana. Karena itu, penyidik pejabat negeri sipil (PPNS) di lingkungan kementerian perhubungan, dalam hal ini PPNS di otoritas bandara setempat, dapat melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penyidik di bidang perlindungan konsumen. Sebab, UUPK pasal 59 memberikan wewenang khusus kepada PPNS sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Karena ada dugaan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dalam kasus Lion Air, PPNS berwenang melakukan pemeriksaan yang berkenaan dengan tindak pidana di tempat kejadian. Selain itu, PPNS wajib memeriksa direksi/pengurus Lion Air yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. Karena itu, seharusnya PPNS telah meminta keterangan dan bahan bukti dari direksi/pengurus Lion Air sehubungan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. Namun, dalam proses penyidikan itu, PPNS memberitahukan dan melaporkan hasilnya kepada penyidik pejabat polisi.
Selama langkah-langkah hukum semacam itu tidak dilakukan secara proaktif di lingkungan Kemenhub, termasuk juga di lingkungan kementerian lainnya, penegakan hukum perlindungan konsumen tak akan pernah terwujud di muka bumi Nusantara ini. Masyarakat konsumen –penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta– akan selalu terancam keamanan, kenyamanan, kesehatan, dan keselamatan jiwanya ketika mengonsumsi produk barang dan/atau jasa, terutama jasa penerbangan.
Pemberian kompensasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No PM 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara tak cukup untuk menjamin peristiwa delay serupa tak akan terjadi lagi di kemudian hari. Hanya, masalahnya, para PPNS di Kemenhub di bawah kepemimpinan Ignasius Jonan apakah tak ciut nyali ketika menghadapi manajemen Lion Air dalam melakukan penyidikan? (*)

Komentar :
Apa gunanya UU tentang perlindungan konsumen kalo penerapanya tidak dijalankan dengan baik .


http://www.jawapos.com