Cari Blog Ini

Selasa, 17 November 2015

Pengertian Buku Besar

Jika perusahaan berkembang dan banyak jenis kegiatannya yang makin banyak sehingga mengakibatkan bertambahnya jumlah perkiraan mengenai harta, utang, modal, pendapatan, dan beban, cara pencatatannya dengan membuat sejumlah daftar untuk mencatat transaksi-transaksi yang terjadi. Dalam daftar tersebut dapat dilihat perubahan-perubahan dari transaksi yang memengaruhinya.



Pengertian buku besar adalah kumpulan perkiraan untuk mencatat perubahan-perubahan transaksi.

 Bentuk Buku Besar

Bentuk buku besar yang biasa dipergunakan oleh perusahaan dapat dibedakan menjadi dua bentuk.

a. Bentuk Skontro

Bentuk skontro adalah bentuk buku besar sebelah-menyebelah atau disebut dua kolom. Contoh bentuk buku besar dua kolom adalah sebagai berikut.

b. Bentuk Stafel

Yang dimaksud dengan buku besar bentuk stafel adalah buku besar berbentuk halaman atau disebut juga buku besar empat kolom. Bentuk ini terdiri dari sisa debit dan sisa kredit. Berilah contoh bentuk stafel!


Cara Melakukan Posting dari Jurnal ke Buku Besar

Setelah pencatatan ke dalam jurnal selesai, tahap selanjutnya memindahkan catatan yang terdapat dalam jurnal ke buku besar atau disebut posting.

Ada beberapa langkah bagaimana cara memindahkan dari jurnal ke buku besar, yaitu

a. pertama, pindahkan tanggal kejadian dalam jurnal ke lajur perkiraan yang bersangkutan pada buku besar;

b. kedua, pindahkan jumlah debit atau kredit dalam jurnal ke lajur debit atau kredit perkiraan buku besar;

c. ketiga, catat nomor kode akun ke dalam kolom referensi jurnal sebagai tanda jumlah jurnal telah dipindahkan ke buku besar;

d. keempat catat nomor halaman jurnal ke dalam kolom referensi buku besar setiap pemindahbukuan.

Untuk lebih memahaminya, berikut ini diberikan contoh sebagai gambaran yang jelas bagi kamu. Perhatikan garis putus-putus yang ada pada contoh buku jurnal dan buku besar di bawah ini.


Fungsi Buku Besar

1.       Mengumpulkan data transaksi

2. Mengklasifikasikan dan mengkodekan data transaksi dan akun

3. Memvalidasi transaksi yang terkumpul

4. Meng-update-kan Akun Buku Besar Umum dan File Transaksi

5. Mencatatkan penyesuaian terhadap Akun

6. Mempersiapkan Laporan Keuangan
Jadi : Buku besar itu penggolongan akun2 dari jurnal umum ,yang nantynya akan dgunakan untuk membuat neraca saldo
Sumber : http://www.ilmuekonomi.net/2015/11/Pengertian-Fungsi-Macam-Macam-Contoh-Buku-Besar-Jurnal-Umum-dan-Neraca-Saldo.html

ASERSI-ASERSI DALAM AUDIT LAPORAN KEUANGAN

Asersi (assertion) adalah pernyataan manajemen yang terkandung di dalam komponen laporan keuangan. Asersi (assertion) adalah suatu deklarasi, atau suatu rangkaian deklarasi secara keseluruhan, oleh pihak yang bertanggung jawab atas deklarasi tersebut. Jadi, asersi adalah pernyataan yang dibuat oleh satu pihak  yang secara implisit dimaksudkan untuk digunakan oleh pihak lain (pihak ketiga). Untuk laporan keuangan historis, asersi merupakan pernyataan dalam laporan keuangan oleh manajemen sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Pernyataan tersebut dapat bersifat implisit atau eksplisit serta dapat diklasifikasikan berdasarkan penggolongan besar sebagai berikut ini:
Asersi tentang keberadaan atau keterjadian (existence or occurance) berhubungan dengan apakah aktiva atau uang entitas ada pada tanggal tertentu dan apakah transaksi yang dicatat telah terjadi selama periode tertentu. sebagai contoh, manajemen membuat asersi bahwa sediaan produk jadi yang tercantum dalam neraca adalah tersedia untuk dijual. Begitu pula, manajemen mambuat asersi bahwa penjualan dalam laporan laba-rugi menunjukkan pertukaran barang atau jasa dengan kas atau aktiva bentuk lain (misalnya piutang) dengan pelanggan.

Asersi tentang kelengkapan (completeness) berhubungan dengan apakah semua transaksi dan akun yang seharusnya disajikan dalam laporan keuangan telah dicantumkan di dalamnya. Sebagai contoh, manajemen membuat asersi bahwa seluruh pembelian barang dan jasa dicatat dan dicantumkan dalam laporan keuangan. Demikian pula, manajemen membuat asersi bahwa utang usaha di neraca telah mencakup semua kewajiban entitas.

Asersi tentang hak dan kewajiban (rights and obligations) berhubungan dengan apakah aktiva merupakan hak entitas dan utang merupakan kewajiban perusahaan pada tanggal tertentu. Sebagai contoh, manajemen membuat asersi bahwa jumlah sewa guna usaha (lease) yang dikapitalisasi di neraca mencerminkan nilai perolehan hak entitas atas kekayaan yang disewa-guna-usahakan (leased) dan utang sewa usaha yang bersangkutan mencerminkan suatu kewajiban entitas.

Asersi tentang penilaian atau alokasi (valuation and allocation) berhubungan dengan apakah komponen-komponen aktiva, kewajiban, pendapatan dan biaya sudah dicantumkan dalam laporan keuangan pada jumlah yang semestinya. Sebagai contoh, manajemen membuat asersi bahwa aktiva tetap dicatat berdasarkan harga pemerolehannya dan pemerolehan semacam itu secara sistematik dialokasikan ke dalam periode-periode akuntansi yang semestinya. Demikian pula, manajemen membuat asersi bahwa piutang usaha yang tercantum di neraca dinyatakan berdasarkan nilai bersih yang dapat direalisasikan.

Asersi tentang penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure) berhubungan dengan apakah komponen-komponen tertentu laporan keuangan diklasifikasikan, dijelaskan, dan diungkapkan semestinya. Misalnya, manajemen membuat asersi bahwa kewajiban-kewajiban yang diklasifikasikan sebagai utang jangka panjang di neraca tidak akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun. Demikain pula, manajemen mambuat asersi bahwa jumlah yang disajikan sebagai pos luar biasa dalam laporan laba-rugi diklasifikasikan dan diungkapkan semestinya.

CTT : pernyataan yang dibuat oleh satu pihak  yang secara implisit dimaksudkan untuk digunakan oleh pihak lain (pihak ketiga). Disebut asersi

Sumber : http://accounting.binus.ac.id/2015/09/23/asersi-asersi-dalam-audit-laporan-keuangan/

Pengertian Pemotongan Pajak Final (Pasal 4 ayat PPh 2)

Pemotongan pajak final dikenakan kepada wajib pajak, atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapatkan, sepertikepentingan deposito, hadiah berupa lotere / undian, transaksi saham, dan lain-lain. Tarif berbeda untuk satu jenis penghasilan yang lain, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Istilah 'final' di sini berarti bahwa, jenis pajak ini harus diselesaikan / lunas dalam masa pajak yang sama seperti mereka diterima, dan tidak perlu dilaporkan lagi pada akhir tahun pajak.

Pajak penghasilan pasal 4 ayat (2) dikenakan pada jenis tertentu dari penghasilan / pendapatan, dan berupa:
  • bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi negara, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi  kepada anggota masing-masing;
  • hadiah berupa lotere / undian;
  • transaksi saham dan surat berharga lainnya, transaksi derivatif perdagangan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang diterima oleh perusahaan modal usaha;
  • transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan / atau bangunan; dan
  • pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan Peraturan Pemerintah.

Ketika pajak final dikenakan atas transaksi antara perusahaan dan seorang individu, dimana perusahaan bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, maka perusahaan wajib menyelesaikan pajak ini saja. Dalam kasus transaksi yang terjadi antara dua perusahaan, maka pembayar harus mengumpulkan dan menyelesaikan pajak bukan penerima. 


Ctt : pajak final tidak dapat dikreditkan ,sedangkan tidak final bias dkreditkan

Sumber : http://www.online-pajak.com/id/berita-dan-tips/pajak-penghasilan-pph-pasal-4-ayat-2

Tarif untuk Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)

Tarif 20% (final) atas jumlah bruto dari:
  1. Dividen
  2. Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan pembayaran pinjaman
  3. Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset
  4. Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
  5. Hadiah dan penghargaan
  6. Pensiun dan pembayaran berkala
  7. Premi swap dan transaksi lindung lainnya
  8. Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan dari:
  1. Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia
  2. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan selama penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara perusahaan media atau perusahaan tujuan khusus yang didirikan atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak yang memiliki hubungan khusus untuk suatu entitas atau bentuk usaha tetap (BUT) didirikan di Indonesia.
Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak, suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
Ctt :
Tingkat berdasarkan tax treaty (perjanjian pajak) yang dikenal sebagai JGI Penghindaran Pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam perjanjian, mungkin berbeda satu sama lain. Tarif mereka biasanya mengurangi tingkat dari tarif biasa 20%, dan beberapa mungkin memiliki tarif 0%.

Sumber : http://www.online-pajak.com/id/berita-dan-tips/pph-pajak-penghasilan-pasal-26

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Pasal 24)

Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Pasal 24) pada dasarnya adalah sebuah peraturan yang mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia.

Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang pajak Indonesia adalah sebagai berikut:
  1. pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari pengalihan saham dan surat berharga lainnya;
  2. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda bergerak;
  3. penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak bergerak;
  4. penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  5. pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri;
  6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan pertambangan;
  7. keuntungan dari pengalihan aset tetap;
  8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha tetap (BUT).
Jika nilai pajak di luar negeri yang telah Anda gunakan sebagai kredit pajak di Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada Anda, sehingga nilai kredit Anda kurang untuk menutup pajak terhutang Anda di sini, maka Anda harus membayar jumlah terhutang tersebut ke kantor pelayanan pajak Indonesia.



CTT : Untuk kerugiaan yang diderita diluar negri tidak dimasukan kedalam perhitungan pkp .

Sumber : http://www.online-pajak.com/id/berita-dan-tips/pph-pajak-penghasilan-pasal-24

Tarif PPh Pasal 22


  1. Atas impor :
    • yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
    • non-API = 7,5% x nilai impor;
    • yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
  2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
  3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
    • Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
  4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
    • Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final
  5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
  6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API = 0,5% x nilai impor.
  7. Atas penjualan
    • Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
    • Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
    • Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
    • Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
    • Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.
  8. Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22.
Ctt : perusahaan yang tidak memiliki API biasanya akan meminta bantuan kepada perusahaan lain yang memiliki API tetap dengan membayar sejumlah uang yang disepakati kedua belah pihak .

Sumber : http://www.online-pajak.com/id/berita-dan-tips/pph-pajak-penghasilan-pasal-22

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 | PPh Pasal 22


Menurut hukum Indonesia, Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap Wajib Pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22). Tarif untuk jenis pajak ini bervariasi, tergantung dari pemungut, obyek dan jenis transaksinya.. Mengingat sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun 23. Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap ‘menguntungkan’, sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena itulah PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.

Pemungut dan Obyek PPh Pasal 22

Yang termasuk pemungut dan obyek pajak dalam hal ini adalah:
  1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor barang;
  2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya,, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
  3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
  4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)  atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
  5. Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
  6. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
    • PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero);
    • Bank-bank Badan Usaha Milik Negara,berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
  7. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;
  8. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
  9. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas; 
  10. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
  11. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
  12. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
    • mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan; dan
    • menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
CTT : PPH pasal 22 dikhususkan untuk perdagangan ekpor ,impor dan re impor

Sumber : http://www.online-pajak.com/id/berita-dan-tips/pph-pajak-penghasilan-pasal-22



Perhitungan PPh 21 Terbaru


Menteri Keuangan mengubah peraturan mengenai tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 122/PMK010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), diikuti dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajaknomor PER-32/PJ/2015. Penyesuaiannya adalah sebagai berikut:
  • Rp 36.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 3.000.000,- per bulan untuk  wajib pajak orang pribadi. 
  • Rp 3.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 250.000,- per bulan tambahan untuk wajib pajak yang kawin (tanpa tanggungan). 
  • Rp 3.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 250.000,- per bulan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (orang) untuk setiap keluarga.  

Kesimpulan      : Menurut saya , PTKP naik karena kebutuhan ekonomi setiap tahunnya itu pasti naik ,jadi ptkp mengikuti perekonomi suatu Negara .

Sumber   :http://www.online-pajak.com/id/berita-dan-tips/pph-pajak-penghasilan-pasal-21/perhitungan-pajak-penghasilan-pph-pasal-21


Perhitungan PPh 21 Terbaru


Menteri Keuangan mengubah peraturan mengenai tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 122/PMK010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), diikuti dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajaknomor PER-32/PJ/2015. Penyesuaiannya adalah sebagai berikut:
  • Rp 36.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 3.000.000,- per bulan untuk  wajib pajak orang pribadi. 
  • Rp 3.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 250.000,- per bulan tambahan untuk wajib pajak yang kawin (tanpa tanggungan). 
  • Rp 3.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 250.000,- per bulan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (orang) untuk setiap keluarga.  

Kesimpulan      : Menurut saya , PTKP naik karena kebutuhan ekonomi setiap tahunnya itu pasti naik ,jadi ptkp mengikuti perekonomi suatu Negara .

Sumber   :http://www.online-pajak.com/id/berita-dan-tips/pph-pajak-penghasilan-pasal-21/perhitungan-pajak-penghasilan-pph-pasal-21


Perhitungan PPh 21 Terbaru


Menteri Keuangan mengubah peraturan mengenai tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 122/PMK010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), diikuti dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajaknomor PER-32/PJ/2015. Penyesuaiannya adalah sebagai berikut:
  • Rp 36.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 3.000.000,- per bulan untuk  wajib pajak orang pribadi. 
  • Rp 3.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 250.000,- per bulan tambahan untuk wajib pajak yang kawin (tanpa tanggungan). 
  • Rp 3.000.000,- per tahun atau setara dengan Rp 250.000,- per bulan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus atau anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (orang) untuk setiap keluarga.  

Kesimpulan      : Menurut saya , PTKP naik karena kebutuhan ekonomi setiap tahunnya itu pasti naik ,jadi ptkp mengikuti perekonomi suatu Negara .

Sumber   :http://www.online-pajak.com/id/berita-dan-tips/pph-pajak-penghasilan-pasal-21/perhitungan-pajak-penghasilan-pph-pasal-21


Perhitungan PPh 21 Karyawan


Contoh perhitungan PPh 21 terbaru karyawan atau pegawai tetap adalah sebagai berikut:
Ika adalah karyawati pada perusahaan PT. Sinar Unggul dengan status menikah dan mempunyai tiga anak.  Suami Ika merupakan pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Ika menerima gaji Rp 3.000.000,- per bulan. PT. Sinar Unggul mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan. Perusahaan membayar iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, sebesar Rp 40.000,- per bulan. Ika juga membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,- per bulan, 
Ika juga membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,- sebulan, di samping itu perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Ika membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 2,00% dari gaji. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji. 
Pada bulan Juli 2016 di samping menerima pembayaran gaji, Ika juga menerima uang lembur (overtime) sebesar Rp 2.000.000,-. Perhitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2016 adalah sebagai berikut:
Gaji                                                                                           3.000.000,00
(i) Tunjangan Lainnya: lembur (overtime)                                        2.000.000,00
(ii) Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) 1.00%                                 30.000,00
Premi Jaminan Kematian 0.30%                                                       9.000,00
Penghasilan bruto                                                                     5.039.000,00
Pengurangan        
1. Biaya Jabatan: 5% x 5.039.000,00 = 251.950,00                        (iii) (251.950,00)
2. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) 2% dari gaji pokok                            (60.000,00)
3. (iv) Iuran Pensiun (bila ada)                                                        (30.000,00)
Penghasilan neto sebulan                                                           4.697.050,00
(v) Penghasilan neto setahun 12 x 4.697.050,00                             56.364.600,00
(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): (TK/0) untuk
WP sendiri 36.000.000,00   
                                                                                            (36.000.000,00)
Penghasilan Kena Pajak setahun                                                   20.364.600,00
(vii) Pembulatan        20.364.600,00
PPh Terutang (lihat Tarif PPh Pasal 21)       
5% x 50.000.000,00  =  1.018.200,00       
PPh Pasal 21 bulan Juli = 1.018.200,00 : 12     =   84.850,00/Bulan

Kesimpulan  : iuran yang dibayarkan perusahaaan tidak dimasukan kedalam perhitungan pph 21 ,tetapi kalo iuran yang dibayarkan sendiri dimasukan ke perhitungan .

Sumber  : http://www.online-pajak.com/id/berita-dan-tips/pph-pajak-penghasilan-pasal-21/perhitungan-pajak-penghasilan-pph-pasal-21