Ratusan
penumpang maskapai penerbangan Lion Air mendapat pengalaman terburuk dalam
liburan Imlek 2015– seolah-olah menegaskan bahwa masyarakat konsumen barang
dan/atau jasa di negeri ini tak akan pernah mendapatkan perlindungan hukum
sebagaimana diatur dalam UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Terbukti,
memasuki tahun 2015 ini, ada beberapa kejadian mencolok yang merugikan konsumen
yang menimbulkan kerugian moral, material, bahkan kerugian jiwa manusia yang
tak sedikit nilainya.
Ingatan kita belum reda terhadap konsumen korban pesawat AirAsia
QZ8501, bahkan penyelesaiannya pun belum kunjung tuntas sampai saat ini. Dalam
waktu hampir bersamaan, muncul dampak negatif atas pembekuan penerbangan 61
pesawat dari beberapa maskapai penerbangan yang tak memiliki izin terbang oleh
Menhub Ignasius Jonan karena kebijakannya tak diiringi dengan solusi
perlindungan konsumen. Itu baru kerugian konsumen di sektor jasa penerbangan
yang mencolok ke permukaan publik.
Belum terhitung kerugian konsumen di bidang produk barang
seperti telah ditemukannya berupa ribuan wafer kedaluwarsa siap edar yang
menjadi konsumsi anak-anak kita yang ditangkap Satreskrim Polrestabes Surabaya.
Belum lagi kerugian dua pasien RS Siloam yang meninggal Kamis (12/2) gara-gara
disuntik obat produk PT Kalbe Farma berisi kandungan asam Tranexamic yang
merupakan bahan baku obat injeksi penghenti pendarahan dengan merek Kalnex
tertukar dengan bahan baku obat injeksi anestesi merek Buvanest Spinal.
Kejadian tersebut adalah peristiwa-peristiwa kerugian konsumen
yang terekspos ke publik. Masih banyak peristiwa kerugian konsumen lain yang
sifatnya individual dalam keseharian hidupnya di pasar tradisional maupun di
pasar modern namun tak terekspos ke publik. Karena apa peristiwa itu terus
terjadi? Karena selama ini para pelaku usaha yang telah nyata-nyata terbukti
melakukan pelanggaran UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (PK) tak
pernah diseret ke meja hijau oleh pemerintah selaku regulator sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 46 ayat (1) huruf d.
Hak gugat
pemerintah itu dinyatakan: Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha
dapat dilakukan oleh pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi
yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Selain itu, gugatan dapat
dilakukan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan,
kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
Namun, dalam beberapa kenyataan sejak UUPK diundangkan, belum
pernah ada perusahaan pelanggar UUPK di negeri ini yang diseret ke pengadilan
sampai mempunyai kekuatan hukum tetap dengan menerima sanksi seperti ditetapkan
dalam pasal 60 berupa sanksi administrasi ganti rugi paling banyak Rp 200 juta;
sanksi pidana pasal 61, yakni penjara paling lama lima tahun, atau denda paling
banyak Rp 2 miliar (pasal 62 ayat 1); dan sanksi pidana penjara paling lama dua
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Di dalam UUPK, ada empat kategori pelanggaran pelaku usaha.
Pertama, pelanggaran terhadap kewajiban pelaku usaha. Kedua, pelanggaran
terhadap larangan-larangan pelaku usaha. Ketiga, pelanggaran klausul baku.
Keempat, pelanggaran tanggung jawab pelaku usaha.
Misalnya,
ada pelanggaran pelaku usaha terhadap larangan pasal 16 UUPK, bahwa pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk: a.
tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan
yang dijanjikan; b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau
prestasi. Dengan
demikian, Lion Air yang penerbangannya delayed sehingga merugikan konsumen dapat
dikualifikasikan melanggar larangan pelaku usaha dalam pasal 16 UUPK karena tak
memberikan manfaat prestasinya.
Karena Lion Air patut diduga melanggar pasal 16 UUPK, ada
konsekuensi sanksi pidana. Karena itu, penyidik pejabat negeri sipil (PPNS) di
lingkungan kementerian perhubungan, dalam hal ini PPNS di otoritas bandara
setempat, dapat melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penyidik di
bidang perlindungan konsumen. Sebab, UUPK pasal 59 memberikan wewenang khusus
kepada PPNS sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang berlaku.
Karena ada dugaan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen
dalam kasus Lion Air, PPNS berwenang melakukan pemeriksaan yang berkenaan
dengan tindak pidana di tempat kejadian. Selain itu, PPNS wajib memeriksa
direksi/pengurus Lion Air yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen. Karena itu, seharusnya PPNS telah meminta keterangan dan bahan bukti
dari direksi/pengurus Lion Air sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen. Namun, dalam proses penyidikan itu, PPNS memberitahukan
dan melaporkan hasilnya kepada penyidik pejabat polisi.
Selama langkah-langkah hukum semacam itu tidak dilakukan secara
proaktif di lingkungan Kemenhub, termasuk juga di lingkungan kementerian
lainnya, penegakan hukum perlindungan konsumen tak akan pernah terwujud di muka
bumi Nusantara ini. Masyarakat konsumen –penduduk Indonesia yang berjumlah 250
juta– akan selalu terancam keamanan, kenyamanan, kesehatan, dan keselamatan
jiwanya ketika mengonsumsi produk barang dan/atau jasa, terutama jasa
penerbangan.
Pemberian
kompensasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No PM 77/2011
tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara tak cukup untuk menjamin peristiwa delay serupa tak akan terjadi lagi di
kemudian hari. Hanya, masalahnya, para PPNS di Kemenhub di bawah kepemimpinan
Ignasius Jonan apakah tak ciut nyali ketika menghadapi manajemen Lion Air dalam
melakukan penyidikan? (*)
Komentar :
Apa gunanya UU tentang perlindungan konsumen kalo penerapanya tidak dijalankan dengan baik .
Apa gunanya UU tentang perlindungan konsumen kalo penerapanya tidak dijalankan dengan baik .
http://www.jawapos.com